Saturday, January 3, 2015

Langit Jingga




Aku tak tahu sejak kapan memandangnya menjadi sesuatu kegiatan yang menyenangkan untukku. Mengamati gerak-geriknya sekarang ini membuat senyumku tak henti mengembang. Mengalihkan pandangan dari dirinya terasa berat aku lakukan. Tetapi ketika tangan mungil seorang gadis menyentuh bahuku, aku tak punya pilihan lain selain melemparkan pandanganku ke arah gadis itu.
“Yurina-chan, jangan memandangnya seperti itu.” kata gadis itu
Aku  tersentak kaget. Ternyata gadis yang duduk di belakangku itu mangamati diriku. Mungkin saat ini wajahku terlihat memerah. Aku hanya bisa tersenyum dan memempelkan jari telunjuk ke bibirku. “Ssst, jangan mengatakan hal ini padanya ya, Mei”
Jam di ponsel yang aku bawa menunjukkan pukul lima sore. Itu berarti sudah tiga puluh menit sejak pelajaran selesai. Walaupun begitu tak ada satu pun siswa yang keluar ruang kelas. Mereka semua fokus memperhatikan seseorang yang berbicara di depan kelas. Orang yang sedari tadi juga aku pandang lekat. Hayashi Arata. Wali kelas kami tak bisa datang sore ini, jadilah Arata sebagai ketua kelas yang memberikan beberapa pengumuman kepada kami.
Liburan musim panas segera datang. Walaupun begitu siswa kelas tiga tak akan bisa bersantai. Akan ada banyak kegiatan sebelum ujian kelulusan. Seharusnya aku terbebani dengan hal itu. Tetapi entah mengapa bukan hal itu yang menjadi bebanku saat ini. Perasaanku mengatakan ada hal yang akan terjadi sebelum ujian tiba. Aku tak mengerti.
Langit kota Tokyo telah mulai berubah jingga. Arata sudah mengakhiri apa yang menjadi tugasnya hari ini. Hampir seluruh siswa telah meninggalkan ruang kelas. Arata menghampiri tempat dudukku. Kini ia berdiri membelakangi jendela kaca besar yang ada di samping kiri tempat dudukku. Dia bersandar pada jendela, melipat tangannya di dada dan memandangku dengan pandangan kesal.
“Sepertinya, tadi kalian asyik membicarakan sesuatu. Pasti tentang aku?” tanya Arata.
“Jangan terlalu percaya diri dulu. Kami tidak membicarakan dirimu. Iya kan, Mei?” jawabku.
Aku beralih menatap Mei dengan penuh harap supaya ia membenarkan jawabanku. Mei tersenyum dan membuka mulutnya. Aku berharap ia mengatakan apa yang aku isyaratkan.
“Ya, itu benar. Untuk apa kami membicarakan dirimu. Kami hanya membicarakan masalah goukon[1]. Aku ingin mengajak Yurina hari minggu besok. Kyou-chan yang merencanakan hal ini” jawab Mei.
Kali ini aku kembali memandang Arata. Sikap tubuhnya berubah. Ia tak lagi melipat tangannya. Kini ia berdiri tegak dan wajahnya terlihat khawatir. Aku heran melihatnya seperti itu.
“Kyou-chan?” tanya Arata untuk memastikan perkataan Mei.
Mei mengangguk dan kembali berkata, “Ya, kau tak lupa dengan Kyou-chan bukan?” tanya Mei.
Arata tak menjawab dan Mei sepertinya tak membutuhkan jawabannya karena ia langsung berkata, “Kau harus ikut. Lagipula Yurina sudah mengatakan akan ikut.”
“Hah!” sontakku. Sekarang giliran aku yang kaget dengan perkataan Mei. Aku tak pernah mengatakan hal itu. Aku tak tertarik dengan Goukon. Daripada bertemu dan pergi bersama orang yang belum aku kenal lebih baik aku di rumah menonton anime[2].
Mei mencubit tanganku yang berada di atas mejanya. Aku tahu maksud dari cubitannya itu dan aku tak punya pilihan lain. Akhirnya aku membuka mulut.
“Ya, aku sudah janji” jawabku pelan.
Sebenarnya ada keraguan saat aku mengatakan hal itu. Aku berharap Arata tak menyadari kebohonganku itu. Dan benar saja Arata tak menyadarinya atau lebih tepatnya ia tak mendengarkan jawabanku. Ia hanya terdiam sibuk dengan pikirannya sendiri yang tak aku ketahui.
“Kau akan ikut kan?”
Arata masih terdiam. Mei sepertinya kesal dengan sikap Arata. Ia bangkit dan mendekati Arata. Ia membisikkan sesuatu yang tak bisa aku dengar. Bisikkan itu sepertinya telah berhasil menyadarkan Arata dan membuatnya mengatakan iya.
Entah apa yang dibisikkan Mei kepada Arata. Tetapi sepertinya sesuatu itu ada hubungannya denganku karena kini Arata menatapku dengan tatapan yang menurutku sedikit aneh. Dia menatapku cemas.
---
Aku duduk di sebuah bangku taman bersama Mei. Arata berdiri tak jauh dari kami. Ia bersandar pada sebuah pohon dan asyik menikmati alunan musik yang masuk ke telinganya dari earphone yang ia kenakan. Mei juga sibuk menekan beberapa tombol ponselnya dan sesekali menempekan ponsel itu ke telinganya.
Aku menghembuskan napas panjang. Aku bosan menunggu. Walaupun baru lima belas menit lewat dari jam yang dijanjikan, tetap saja aku bosan karena aku tak melakukan apa-apa. Kalau tahu aku harus menunggu, aku akan membawa buku yang semalam belum sempat aku selesaikan. Dan aku memilih untuk memandangi langit biru musim panas untuk menghilangkan rasa bosanku.
Kami bertiga menunggu orang yang sama. Tetapi aku rasa kami bertiga menunggu dengan perasaan yang berbeda. Aku yakin akan hal itu. Karena kami bertiga menunjukkan ekspresi yang berbeda. Aku merasa penasaran dan sedikit takut karena aku akan bertemu sepupu Mei yang belum pernah aku kenal. Mei terlihat senang  akan bertemu sepupunya yang ia panggil Kyou-chan itu. Sedangkan Arata, walau ia asyik mengangguk-anggukkan kepala mengikuti irama musik yang ia dengar, wajahnya tetap menujukkan ekspresi khawatir seperti kemarin.
“Mei, kapan dia akan datang?” tanya Arata sambil menghampiri Mei dan aku.
“ Sebentar lagi, dia bilang kalau dia sedang berjalan ke sini, hmm,...” Mei menghentikan perkataannya dan berdiri melihat sekeliling taman.
“Nah, itu dia” kata Mei sambil menunjuk salah satu sudut taman.
Aku mengikuti arah tangan Mei dan aku melihat ada tiga orang sedang berjalan ke arah kami. Dua laki-laki dan satu perempuan. Mereka semua seumuran dengan kami. Selah satu dari dua laki-laki itu melambaikan tangan ke arah kami. Mei membalas lambaian itu.
Aku memandang mereka bertiga. Ada hal yang mengganjalku saat melihat mereka. Apalagi saat aku dapat melihat dengan jelas bagaimana wajah mereka terutama laki-laki yang baru saja melambaikan tangan.
Jantungku mulai berdegup kencang dan terasa sakit. Aku mengenal mereka dengan baik terutama dia. Dia yang melambaikan tangan. Dia yang sepertinya sepupu Mei. Dan dia yang membuatku seperti ini.
Beberapa kali aku mengedipkan mata dan berharap apa yang aku lihat tidaklah benar. Kepala ini juga aku gelengkan untuk menghilangkan pikiranku kalau aku mengenal mereka. Tetapi semua itu tak mengubah kenyataan bahwa aku memang mengenal mereka. Karena saat mereka telah berdiri tepat dihadapan kami, harapanku sirna.
Aku berdiri dan berusaha untuk bisa tegap berdiri walau kaki ini gemetar. Aku baru menyadari bahwa Arata kini berada di sampingku padahal sejak tadi ia berdiri di samping Mei.
Ohayou[3], Mei-chan?” kata sepupu Mei itu.
“Kyouta, kamu tak berubah ya. Tetap tak pernah datang tepat waktu” kata Mei.
Gomennasai, [4]ada yang harus aku lakukan tadi” kata Kyouta. Kyouta mengalihkan pandangannya ke arah Arata. Dia menyunggingkan seulas senyum saat melihat Arata. Bukan senyum yang ramah menurutku. “Lama tak berjumpa, Arata”
Arata hanya begumam tak jelas dan aku merasakan ada hal aneh antara mereka berdua. Tetapi hal aneh itu tidaklah membuat perasaan takutku menghilang. Dan aku semakin takut saat Kyouta menyadari keberadaanku. Ia menatapku tak percaya.
“Rina-chan?” kata Kyouta.
Aku tersentak saat Kyouta memanggil namaku. Aku tak menyadari bahwa tangan kananku kini menggenggam baju Arata atau lebih tepatnya meremas baju Arata.
“Ada apa, Yurina?” tanya Arata heran saat ia menyadari aku meremas bajunya.
“Kau sudah mengenal Yurina, Kyouta?” tanya Mei penasaran.
Kyouta tak menjawab. Ia masih memandangku dan sepertinya ia menyadari bahwa tubuhku gemetar.
“Hmm, ya. Aku sudah mengenal Rina-... maksudku Ishikawa-san.” Jawab Kyouta.
“Di mana kau mengenalnya. Ah, aku ingat Yurina kan pernah tinggal di Kyoto. Pasti kalian pernah bertemu dan saling mengenal.”
Aku hanya terdiam dan terus meremas baju Arata. Arata sepertinya tahu ketakutanku saat itu karena ia tak keberatan aku meremas bajunya. Aku berusaha menenangkan diri dan mengatur napasku yang terlalu cepat.
Arata melepaskan remasan tanganku dengan hati-hati dan kini ia menggenggam tanganku. Ia berusaha menenangkan diriku. Tetapi ia tak memandangku melainkan memandang Kyouta.
“Aku mengenal Ishikawa-san dengan baik karena aku mantan pa-...” Kyouta tak langsung melanjutkan perkataannya. Ia melihat tanganku kini menggenggam erat tangan Arata.
“...mantan teman sekelasnya. Benar begitu bukan?” tanya Kyouta kepadaku.
Aku hanya mengangguk pelan dan berharap waktu cepat berlalu agar aku aku tak melihatnya lagi.
---
Waktu terasa begitu lambat berjalan dan aku bersyukur dapat melewati hari ini. Hari dimana aku bertemu dengannya. Laki-laki yang menjadi salah satu alasanku pidah ke Tokyo.
Sekarang aku sedang menunggu kereta yang akan membawaku pulang. Kami semua berpisah di taman. Tetapi Arata masih bersamaku karena ia berkata akan mengantarku pulang.
“Yurina, sebenarnya apa hubuganmu dengan Kyouta. Sejak tadi hal itu menggangguku. Sepertinya hubugan kalian tak sebatas teman sekelas bukan?” tanya Arata kepadaku.
Aku tak ingin menjawab hal itu. Arata sangat penasaran dengan hubunganku dengan Kyouta. Dia terus memandangku dan menanti jawabanku. Akhirnya aku memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Arata.
“Actually, He is my ex-boyfriend,...”
Arata mendengarkan ceritaku dengan seksama. Ia tak berkata apa-apa dan hanya sesekali mengangguk. Sampai ketika aku tak tahu apa yang harus aku ceritakan lagi. Dia baru membuka mulutnya.
“Jadi, apa kau masih menyukainya?” tanyanya pelan.
Aku kaget mendengar pertanyaan Arata. Pertanyaan yang sama yang sedari tadi aku tanyakan pada diriku sendiri. Apa aku masih menyukainya? Aku tak tahu jawaban yang pasti.
“Sudahlah, kau tak perlu menjawab pertanyaanku. Kau pasti haus, aku belikan minum  dulu ya. Orange juice?” tanya Arata.
Aku menggangguk. Arata berjalan meninggalkanku. Aku berharap ia cepat kembali karena aku tak suka menunggu sendiri. Apalagi hari sudah gelap. Tiba-tiba aku merasa ada seseorang yang berdiri di depanku. Aku mengangkat kepalaku dan mataku melebar tak percaya siapa yang ada di depanku. Nishimura Kyouta
---
Ohayou, Yurina-chan.” sapa Mei dengan ceria.
Aku tersenyum. “Ohayou, spertinya hari ini kamu senang sekali.”
Mei menggantungkan tasnya di meja. Dia masih tersenyum lebar. Pasti suasana hatinya sedang baik.
“Ya, aku senang sekali. Liburan musim panas minggu depan orang tuaku akan mengajakku ke Paris. Aku senang sekali.” kata Mei gembira.
“Wah, hebat. Aku juga ingin ke sana. Liburan besok aku hanya ke rumah kakek dan nenekku di Kyoto.” Kataku.
Aku melirik Arata yang sedang asyik dengan bukunya. “Kalau kamu akan pergi ke mana, Arata?” tanyaku
“Hmm, aku tak tahu” jawabnya ketus.
Aku tak suka nada bicara Arata barusan. Ia tak pernah seperti itu. beberapa hari ini ia terlihat berbeda.
---
“Arata” panggilku saat melihatnya sedang mengganti sepatunya dengan uwabaki[5]. Tetapi ia tak melihatku atau lebih tepatnya ia mengabaikanku. Aku sangat membenci hal ini. Dia sering menghidariku akhir-akhir ini. Aku tak mengerti mengapa dia menghindariku.
---
“Yurina, ayo makan siang di atap sekolah” ajak Mei
Aku menggangguk. Aku mendekati Arata dan megajaknya. “Arata, ayo.”
Aku menarik tangan Arata pelan untuk membuatnya berdiri. Tetapi ia dengan cepat menarik tangannya dan membuatku kaget. Dia berubah kasar.
“Aku tak ikut, kalian pergi saja sendiri” jawab Arata.
Aku mulai kesal dengan sikap Arata. Dia tak menatapku saat berbicara denganku dan dia sering mengabaikanku sekarang.
“Ada apa dengan dirimu Arata. Kenapa kamu seperti ini padaku. Apa aku punya salah?” tanyaku padanya.
Arata tak menjawab. Mei juga terdiam karena tak mengetahui apa yang terjadi. Diamnya Arata membuat amarahku muncul. Aku tak menyukai sikap seperti itu. Aku membenci orang yang mengabaikanku dan mendhindariku. Jika terus begitu aku tak punya pilihan lain.
“Baik, kalau kamu tak ingin menjawab. Aku juga tak akan memaksa. Kalau aku sudah mengganggumu, aku minta maaf. Mulai sekarang aku tak akan mengganggumu. Anggap saja kita tak pernah saling mengenal karena aku tak suka diabaikan oleh orang yang aku kenal.” kataku dengan nada tinggi.
Aku keluar dari kelas dan berlari meninggalkan kelas. Jika ada guru melihatku berlari di koridor pasti aku akan kena marah. Tetapi biarlah aku akan menjadi anak nakal kali ini. Melanggar satu aturan tak akan jadi masalah.
Kakiku melangkah dengan cepat. Aku ingin segera sampai di atap sekolah dan ingin mengeluarkan seluruh air mataku yang masih berhasil ku tahan. Aku membenci diriku sendiri. Diriku yang selalu tak bisa mengatakan apa yang aku inginkan. Diriku yang selalu lari dari sesuatu. Diriku yang menyukainya. Aku benci itu.
---
Ponsel yang aku letakkan di meja bergetar. Membangunkanku dari lamunan panjangku. Aku membaca nama yang tertulis di layar ponsel. Nishimura Kyouta. Haruskah aku mengangkat telepon itu.
Moshi-moshi[6], ada apa Kyouta-kun?” jawabku tak bersemangat.
Aku mendengarkan suara Kyouta dari ponsel. Aku tak banyak menjawab hanya mengangguk saja walau aku tahu Kyouta tak akan bisa melihatku. Aku menutup telepon setelah Kyouta selesai berbicara. Aku menghembuskan napas panjang.
“Kyouta?” tanya Mei.
Aku mengangguk. “Ya, dia mengajakku ke festival kembang api besok. Katanya ada yang ingin diabicarakan.”
Mei mengangguk mengerti. Ia kemudian melihat Arata. Begitu pula denganku. Aku melihatnya berharap ia akan bereaksi pada apa yang aku ucapkan tadi. Tetapi Arata sama sekali tak menghiraukanku. Ya, dia tak akan menghiraukanku lagi. Aku sendiri yang memintanya. Tiga hari sudah sejak aku marah padanya dan dia tak pernah berbicara padaku lagi.
Aku meraih tas milikku dan bergegas pulang. Aku berjalan menuju loker khusus kelas tiga dan membuka loker sepatuku untuk mengganti sepatu. Saat aku membuka lokerku, aku melihat ada selembar foto ada di atas sepatuku. Aku mengambil foto yang melukiskan gambar langit sore. Ada beberapa kalimat yang tertulis di pojok bawah foto itu. Kalimat itu membuat diriku tersenyum lega dan telah berhasil menguapkan rasa risauku beberapa hari ini.
Aku tak jadi mengganti sepatu. Aku kembali menuju kelas. Aku mencari dia yang meninggalkan foto langit itu. Tetapi ia tak ada di sana. Aku mencoba mengingat tempat di mana mungkin ia berada. Aku mengamati kembali foto itu. Aku tahu di mana foto itu diambil. Dia pasti ada di sana.
Aku melangkahkan kaki dengan cepat menuju atap sekolah. Aku harap dia benar ada di sana. Saat menaiki tangga menuju atap aku sedikit ragu. Tetapi aku berusaha menyingkirkan keraguanku. Aku tak ingin lagi menghindar karena aku pasti akan membenci diriku lebih lagi.
Ketika aku membuka pintu atap gedung sekolah. Aku melihat dirinya berdiri membelakangiku. Aku belari menghampirinya dan ia menyadari kedatanganku.
Baka[7]!” teriakku padanya.
Dia hanya tersenyum. Senyum yang sudah lama tak aku lihat.
 “Ya, aku memang bodoh karena tak mengatakan hal itu padamu. Jadi apa jawabanmu?”
Aku menatap mata birunya yang indah dan aku yakin dengan jawabanku ini.
“Kau tak akan kehilangan diriku.” jawabku pasti
Saat langit berubah jingga, aku melihatmu. Saat langit berubah jingga, aku melihatmu bersamanya. Apakah saat langit berubah jingga kali ini aku juga akan kehilanganmu?


[1] Goukon adalah pertemuan antara wanita dan pria di Jepang, biasanya mereka akan bertemu di karaoke box atau cafe. Semacam kencan buta
[2] Animasi khas Jepang
[3] Selamat pagi
[4] Aku minta maaf
[5] sepatu khusus yang digunakan di ruang kelas
[6] halo
[7] Bodoh