Aku tak tahu
sejak kapan memandangnya menjadi sesuatu kegiatan yang menyenangkan untukku.
Mengamati gerak-geriknya sekarang ini membuat senyumku tak henti mengembang.
Mengalihkan pandangan dari dirinya terasa berat aku lakukan. Tetapi ketika
tangan mungil seorang gadis menyentuh bahuku, aku tak punya pilihan lain selain
melemparkan pandanganku ke arah gadis itu.
“Yurina-chan, jangan memandangnya seperti itu.”
kata gadis itu
Aku tersentak kaget. Ternyata gadis yang duduk di
belakangku itu mangamati diriku. Mungkin saat ini wajahku terlihat memerah. Aku
hanya bisa tersenyum dan memempelkan jari telunjuk ke bibirku. “Ssst, jangan
mengatakan hal ini padanya ya, Mei”
Jam di ponsel
yang aku bawa menunjukkan pukul lima sore. Itu berarti sudah tiga puluh menit
sejak pelajaran selesai. Walaupun begitu tak ada satu pun siswa yang keluar
ruang kelas. Mereka semua fokus memperhatikan seseorang yang berbicara di depan
kelas. Orang yang sedari tadi juga aku pandang lekat. Hayashi Arata. Wali kelas
kami tak bisa datang sore ini, jadilah Arata sebagai ketua kelas yang
memberikan beberapa pengumuman kepada kami.
Liburan musim
panas segera datang. Walaupun begitu siswa kelas tiga tak akan bisa bersantai.
Akan ada banyak kegiatan sebelum ujian kelulusan. Seharusnya aku terbebani
dengan hal itu. Tetapi entah mengapa bukan hal itu yang menjadi bebanku saat
ini. Perasaanku mengatakan ada hal yang akan terjadi sebelum ujian tiba. Aku
tak mengerti.
Langit kota
Tokyo telah mulai berubah jingga. Arata sudah mengakhiri apa yang menjadi
tugasnya hari ini. Hampir seluruh siswa telah meninggalkan ruang kelas. Arata
menghampiri tempat dudukku. Kini ia berdiri membelakangi jendela kaca besar
yang ada di samping kiri tempat dudukku. Dia bersandar pada jendela, melipat
tangannya di dada dan memandangku dengan pandangan kesal.
“Sepertinya,
tadi kalian asyik membicarakan sesuatu. Pasti tentang aku?” tanya Arata.
“Jangan terlalu
percaya diri dulu. Kami tidak membicarakan dirimu. Iya kan, Mei?” jawabku.
Aku beralih
menatap Mei dengan penuh harap supaya ia membenarkan jawabanku. Mei tersenyum
dan membuka mulutnya. Aku berharap ia mengatakan apa yang aku isyaratkan.
“Ya, itu benar.
Untuk apa kami membicarakan dirimu. Kami hanya membicarakan masalah goukon[1]. Aku ingin
mengajak Yurina hari minggu besok. Kyou-chan yang merencanakan hal ini” jawab
Mei.
Kali ini aku
kembali memandang Arata. Sikap tubuhnya berubah. Ia tak lagi melipat tangannya.
Kini ia berdiri tegak dan wajahnya terlihat khawatir. Aku heran melihatnya
seperti itu.
“Kyou-chan?” tanya Arata untuk memastikan
perkataan Mei.
Mei mengangguk
dan kembali berkata, “Ya, kau tak lupa dengan Kyou-chan bukan?” tanya Mei.
Arata tak
menjawab dan Mei sepertinya tak membutuhkan jawabannya karena ia langsung
berkata, “Kau harus ikut. Lagipula Yurina sudah mengatakan akan ikut.”
“Hah!” sontakku.
Sekarang giliran aku yang kaget dengan perkataan Mei. Aku tak pernah mengatakan
hal itu. Aku tak tertarik dengan Goukon. Daripada bertemu dan pergi bersama
orang yang belum aku kenal lebih baik aku di rumah menonton anime[2].
Mei mencubit
tanganku yang berada di atas mejanya. Aku tahu maksud dari cubitannya itu dan
aku tak punya pilihan lain. Akhirnya aku membuka mulut.
“Ya, aku sudah
janji” jawabku pelan.
Sebenarnya ada
keraguan saat aku mengatakan hal itu. Aku berharap Arata tak menyadari
kebohonganku itu. Dan benar saja Arata tak menyadarinya atau lebih tepatnya ia
tak mendengarkan jawabanku. Ia hanya terdiam sibuk dengan pikirannya sendiri
yang tak aku ketahui.
“Kau akan ikut
kan?”
Arata masih
terdiam. Mei sepertinya kesal dengan sikap Arata. Ia bangkit dan mendekati
Arata. Ia membisikkan sesuatu yang tak bisa aku dengar. Bisikkan itu sepertinya
telah berhasil menyadarkan Arata dan membuatnya mengatakan iya.
Entah apa yang
dibisikkan Mei kepada Arata. Tetapi sepertinya sesuatu itu ada hubungannya
denganku karena kini Arata menatapku dengan tatapan yang menurutku sedikit aneh.
Dia menatapku cemas.
---
Aku duduk di sebuah bangku taman bersama
Mei. Arata berdiri tak jauh dari kami. Ia bersandar pada sebuah pohon dan asyik
menikmati alunan musik yang masuk ke telinganya dari earphone yang ia kenakan.
Mei juga sibuk menekan beberapa tombol ponselnya dan sesekali menempekan ponsel
itu ke telinganya.
Aku menghembuskan napas panjang. Aku
bosan menunggu. Walaupun baru lima belas menit lewat dari jam yang dijanjikan,
tetap saja aku bosan karena aku tak melakukan apa-apa. Kalau tahu aku harus
menunggu, aku akan membawa buku yang semalam belum sempat aku selesaikan. Dan
aku memilih untuk memandangi langit biru musim panas untuk menghilangkan rasa
bosanku.
Kami bertiga menunggu orang yang sama.
Tetapi aku rasa kami bertiga menunggu dengan perasaan yang berbeda. Aku yakin
akan hal itu. Karena kami bertiga menunjukkan ekspresi yang berbeda. Aku merasa
penasaran dan sedikit takut karena aku akan bertemu sepupu Mei yang belum
pernah aku kenal. Mei terlihat senang
akan bertemu sepupunya yang ia panggil Kyou-chan itu. Sedangkan Arata, walau ia asyik mengangguk-anggukkan
kepala mengikuti irama musik yang ia dengar, wajahnya tetap menujukkan ekspresi
khawatir seperti kemarin.
“Mei, kapan dia akan datang?” tanya
Arata sambil menghampiri Mei dan aku.
“ Sebentar lagi, dia bilang kalau dia
sedang berjalan ke sini, hmm,...” Mei menghentikan perkataannya dan berdiri
melihat sekeliling taman.
“Nah, itu dia” kata Mei sambil menunjuk
salah satu sudut taman.
Aku mengikuti arah tangan Mei dan aku
melihat ada tiga orang sedang berjalan ke arah kami. Dua laki-laki dan satu
perempuan. Mereka semua seumuran dengan kami. Selah satu dari dua laki-laki itu
melambaikan tangan ke arah kami. Mei membalas lambaian itu.
Aku memandang mereka bertiga. Ada hal
yang mengganjalku saat melihat mereka. Apalagi saat aku dapat melihat dengan
jelas bagaimana wajah mereka terutama laki-laki yang baru saja melambaikan
tangan.
Jantungku mulai berdegup kencang dan
terasa sakit. Aku mengenal mereka dengan baik terutama dia. Dia yang
melambaikan tangan. Dia yang sepertinya sepupu Mei. Dan dia yang membuatku
seperti ini.
Beberapa kali aku mengedipkan mata dan
berharap apa yang aku lihat tidaklah benar. Kepala ini juga aku gelengkan untuk
menghilangkan pikiranku kalau aku mengenal mereka. Tetapi semua itu tak mengubah
kenyataan bahwa aku memang mengenal mereka. Karena saat mereka telah berdiri
tepat dihadapan kami, harapanku sirna.
Aku berdiri dan berusaha untuk bisa
tegap berdiri walau kaki ini gemetar. Aku baru menyadari bahwa Arata kini
berada di sampingku padahal sejak tadi ia berdiri di samping Mei.
“Ohayou[3],
Mei-chan?” kata sepupu Mei itu.
“Kyouta, kamu tak berubah ya. Tetap tak
pernah datang tepat waktu” kata Mei.
“Gomennasai,
[4]ada
yang harus aku lakukan tadi” kata Kyouta. Kyouta mengalihkan pandangannya ke
arah Arata. Dia menyunggingkan seulas senyum saat melihat Arata. Bukan senyum
yang ramah menurutku. “Lama tak berjumpa, Arata”
Arata hanya begumam tak jelas dan aku
merasakan ada hal aneh antara mereka berdua. Tetapi hal aneh itu tidaklah
membuat perasaan takutku menghilang. Dan aku semakin takut saat Kyouta
menyadari keberadaanku. Ia menatapku tak percaya.
“Rina-chan?” kata Kyouta.
Aku tersentak saat Kyouta memanggil
namaku. Aku tak menyadari bahwa tangan kananku kini menggenggam baju Arata atau
lebih tepatnya meremas baju Arata.
“Ada apa, Yurina?” tanya Arata heran
saat ia menyadari aku meremas bajunya.
“Kau sudah mengenal Yurina, Kyouta?”
tanya Mei penasaran.
Kyouta tak menjawab. Ia masih
memandangku dan sepertinya ia menyadari bahwa tubuhku gemetar.
“Hmm, ya. Aku sudah mengenal Rina-...
maksudku Ishikawa-san.” Jawab Kyouta.
“Di mana kau mengenalnya. Ah, aku ingat
Yurina kan pernah tinggal di Kyoto. Pasti kalian pernah bertemu dan saling
mengenal.”
Aku hanya terdiam dan terus meremas baju
Arata. Arata sepertinya tahu ketakutanku saat itu karena ia tak keberatan aku
meremas bajunya. Aku berusaha menenangkan diri dan mengatur napasku yang
terlalu cepat.
Arata melepaskan remasan tanganku dengan
hati-hati dan kini ia menggenggam tanganku. Ia berusaha menenangkan diriku.
Tetapi ia tak memandangku melainkan memandang Kyouta.
“Aku mengenal Ishikawa-san dengan baik karena aku mantan
pa-...” Kyouta tak langsung melanjutkan perkataannya. Ia melihat tanganku kini
menggenggam erat tangan Arata.
“...mantan teman sekelasnya. Benar
begitu bukan?” tanya Kyouta kepadaku.
Aku hanya mengangguk pelan dan berharap
waktu cepat berlalu agar aku aku tak melihatnya lagi.
---
Waktu terasa begitu lambat berjalan dan
aku bersyukur dapat melewati hari ini. Hari dimana aku bertemu dengannya.
Laki-laki yang menjadi salah satu alasanku pidah ke Tokyo.
Sekarang aku sedang menunggu kereta yang
akan membawaku pulang. Kami semua berpisah di taman. Tetapi Arata masih
bersamaku karena ia berkata akan mengantarku pulang.
“Yurina, sebenarnya apa hubuganmu dengan
Kyouta. Sejak tadi hal itu menggangguku. Sepertinya hubugan kalian tak sebatas
teman sekelas bukan?” tanya Arata kepadaku.
Aku tak ingin menjawab hal itu. Arata
sangat penasaran dengan hubunganku dengan Kyouta. Dia terus memandangku dan
menanti jawabanku. Akhirnya aku memutuskan untuk menceritakan semuanya pada
Arata.
“Actually, He is my ex-boyfriend,...”
Arata mendengarkan ceritaku dengan
seksama. Ia tak berkata apa-apa dan hanya sesekali mengangguk. Sampai ketika
aku tak tahu apa yang harus aku ceritakan lagi. Dia baru membuka mulutnya.
“Jadi, apa kau masih menyukainya?”
tanyanya pelan.
Aku kaget mendengar pertanyaan Arata.
Pertanyaan yang sama yang sedari tadi aku tanyakan pada diriku sendiri. Apa aku
masih menyukainya? Aku tak tahu jawaban yang pasti.
“Sudahlah, kau tak perlu menjawab
pertanyaanku. Kau pasti haus, aku belikan minum
dulu ya. Orange juice?” tanya
Arata.
Aku menggangguk. Arata berjalan
meninggalkanku. Aku berharap ia cepat kembali karena aku tak suka menunggu
sendiri. Apalagi hari sudah gelap. Tiba-tiba aku merasa ada seseorang yang
berdiri di depanku. Aku mengangkat kepalaku dan mataku melebar tak percaya
siapa yang ada di depanku. Nishimura Kyouta
---
“Ohayou,
Yurina-chan.” sapa Mei dengan ceria.
Aku tersenyum. “Ohayou, spertinya hari ini kamu senang sekali.”
Mei menggantungkan tasnya di meja. Dia
masih tersenyum lebar. Pasti suasana hatinya sedang baik.
“Ya, aku senang sekali. Liburan musim
panas minggu depan orang tuaku akan mengajakku ke Paris. Aku senang sekali.” kata
Mei gembira.
“Wah, hebat. Aku juga ingin ke sana.
Liburan besok aku hanya ke rumah kakek dan nenekku di Kyoto.” Kataku.
Aku melirik Arata yang sedang asyik
dengan bukunya. “Kalau kamu akan pergi ke mana, Arata?” tanyaku
“Hmm, aku tak tahu” jawabnya ketus.
Aku tak suka nada bicara Arata barusan.
Ia tak pernah seperti itu. beberapa hari ini ia terlihat berbeda.
---
“Arata” panggilku saat melihatnya sedang
mengganti sepatunya dengan uwabaki[5].
Tetapi ia tak melihatku atau lebih tepatnya ia mengabaikanku. Aku sangat
membenci hal ini. Dia sering menghidariku akhir-akhir ini. Aku tak mengerti
mengapa dia menghindariku.
---
“Yurina, ayo makan siang di atap
sekolah” ajak Mei
Aku menggangguk. Aku mendekati Arata dan
megajaknya. “Arata, ayo.”
Aku menarik tangan Arata pelan untuk
membuatnya berdiri. Tetapi ia dengan cepat menarik tangannya dan membuatku
kaget. Dia berubah kasar.
“Aku tak ikut, kalian pergi saja
sendiri” jawab Arata.
Aku mulai kesal dengan sikap Arata. Dia
tak menatapku saat berbicara denganku dan dia sering mengabaikanku sekarang.
“Ada apa dengan dirimu Arata. Kenapa
kamu seperti ini padaku. Apa aku punya salah?” tanyaku padanya.
Arata tak menjawab. Mei juga terdiam
karena tak mengetahui apa yang terjadi. Diamnya Arata membuat amarahku muncul.
Aku tak menyukai sikap seperti itu. Aku membenci orang yang mengabaikanku dan
mendhindariku. Jika terus begitu aku tak punya pilihan lain.
“Baik, kalau kamu tak ingin menjawab.
Aku juga tak akan memaksa. Kalau aku sudah mengganggumu, aku minta maaf. Mulai
sekarang aku tak akan mengganggumu. Anggap saja kita tak pernah saling mengenal
karena aku tak suka diabaikan oleh orang yang aku kenal.” kataku dengan nada
tinggi.
Aku keluar dari kelas dan berlari
meninggalkan kelas. Jika ada guru melihatku berlari di koridor pasti aku akan
kena marah. Tetapi biarlah aku akan menjadi anak nakal kali ini. Melanggar satu
aturan tak akan jadi masalah.
Kakiku melangkah dengan cepat. Aku ingin
segera sampai di atap sekolah dan ingin mengeluarkan seluruh air mataku yang
masih berhasil ku tahan. Aku membenci diriku sendiri. Diriku yang selalu tak
bisa mengatakan apa yang aku inginkan. Diriku yang selalu lari dari sesuatu.
Diriku yang menyukainya. Aku benci itu.
---
Ponsel yang aku letakkan di meja
bergetar. Membangunkanku dari lamunan panjangku. Aku membaca nama yang tertulis
di layar ponsel. Nishimura Kyouta. Haruskah aku mengangkat telepon itu.
“Moshi-moshi[6],
ada apa Kyouta-kun?” jawabku tak bersemangat.
Aku mendengarkan suara Kyouta dari
ponsel. Aku tak banyak menjawab hanya mengangguk saja walau aku tahu Kyouta tak
akan bisa melihatku. Aku menutup telepon setelah Kyouta selesai berbicara. Aku
menghembuskan napas panjang.
“Kyouta?” tanya Mei.
Aku mengangguk. “Ya, dia mengajakku ke
festival kembang api besok. Katanya ada yang ingin diabicarakan.”
Mei mengangguk mengerti. Ia kemudian
melihat Arata. Begitu pula denganku. Aku melihatnya berharap ia akan bereaksi
pada apa yang aku ucapkan tadi. Tetapi Arata sama sekali tak menghiraukanku.
Ya, dia tak akan menghiraukanku lagi. Aku sendiri yang memintanya. Tiga hari
sudah sejak aku marah padanya dan dia tak pernah berbicara padaku lagi.
Aku meraih tas milikku dan bergegas
pulang. Aku berjalan menuju loker khusus kelas tiga dan membuka loker sepatuku
untuk mengganti sepatu. Saat aku membuka lokerku, aku melihat ada selembar foto
ada di atas sepatuku. Aku mengambil foto yang melukiskan gambar langit sore.
Ada beberapa kalimat yang tertulis di pojok bawah foto itu. Kalimat itu membuat
diriku tersenyum lega dan telah berhasil menguapkan rasa risauku beberapa hari
ini.
Aku tak jadi mengganti sepatu. Aku
kembali menuju kelas. Aku mencari dia yang meninggalkan foto langit itu. Tetapi
ia tak ada di sana. Aku mencoba mengingat tempat di mana mungkin ia berada. Aku
mengamati kembali foto itu. Aku tahu di mana foto itu diambil. Dia pasti ada di
sana.
Aku melangkahkan kaki dengan cepat
menuju atap sekolah. Aku harap dia benar ada di sana. Saat menaiki tangga
menuju atap aku sedikit ragu. Tetapi aku berusaha menyingkirkan keraguanku. Aku
tak ingin lagi menghindar karena aku pasti akan membenci diriku lebih lagi.
Ketika aku membuka pintu atap gedung
sekolah. Aku melihat dirinya berdiri membelakangiku. Aku belari menghampirinya
dan ia menyadari kedatanganku.
“Baka[7]!”
teriakku padanya.
Dia hanya tersenyum. Senyum yang sudah
lama tak aku lihat.
“Ya,
aku memang bodoh karena tak mengatakan hal itu padamu. Jadi apa jawabanmu?”
Aku menatap mata birunya yang indah dan
aku yakin dengan jawabanku ini.
“Kau tak akan kehilangan diriku.”
jawabku pasti
Saat langit berubah jingga, aku
melihatmu. Saat langit berubah jingga, aku melihatmu bersamanya. Apakah saat
langit berubah jingga kali ini aku juga akan kehilanganmu?
