Cepat buka matamu, Na. Ada banyak hal yang ingin ku
ceritakan.
Bau
khas rumah sakit menelusup masuk ke dalam lubang hidungku yang kemudian mencari
jalan menuju paru-paru. Aku mulai terbiasa dengan bau ini. Sudah hampir dua
minggu aku ada di sini. Bukan karena aku pasien di sini, melainkan karena aku
ingin menemani Nana. Ia akan marah jika menyadari bahwa dirinya hanya seorang
diri di kamar ini.
Sudah
sepuluh hari, Nana memejamkan mata tanpa sekalipun membuka bola matanya yang
besar itu. Aku tak mengerti mengapa ia menjadi seperti ini. Nana gadis yang
ceria dan kuat. Walau aku tahu ada sesuatu yang tak beres dengan tubuhnya,
tetapi aku tak tahu kalau akan jadi seperti ini. Semuanya akan kacau jika dia
tidak terbangun.
“Sa,
kamu yakin dengan keputusanmu?” tanya laki-laki yang kini berdiri di sampingku.
“Mmm,
ya. Aku sudah memikirkanya beberapa hari ini.” jawabku pasti.
“Tapi
bukankah ini keinginanmu sejak lama?” tanyanya
“Raka,
kamu salah. Ini keinginan kami berdua. Aku dan Nana.”
Raka
mengangguk pelan. Aku tahu di kecewa atas keputusanku. Keputusan yang sangat
sulit aku buat. Aku harus memilih antara pergi atau menemani Nana, sahabat
baikku. Nana yang aku pilih. Dia membutuhkanku sekarang.
Sebenarnya
dua hari lagi aku akan terbang ke Jepang untuk melanjutkan kuliah. Aku
mendapatkan beasiswa di sana. Aku tak sendiri di Jepang nanti, Nana akan
bersamaku. Kami mendapat beasiswa yang sama dan itu membuat kami sangat senang.
Kami telah menyusun rencana matang sebelum pergi. Tetapi siapa yang akan
menyangka akan terjadi hal seperti ini.
“Kau
tak marah dengan keputusanku bukan?” tanyaku penasaran pada Raka.
Raka
memandangku dan Nana bergantian.
“Aku
tak marah, cuma sedikit kecewa karena kamu membuang kesempatan itu. Kesempatan
mungkin tak datang dua kali.”
Aku
terdiam saat mendengar kalimat terakhir dari Raka. Kalimat itu baerhsil menggoyahkan keputusanku
yang sudah kokoh. Kesesampatan mungkin tak akan datang dua kali. Apa yang harus
aku lakukan? Nana, apa aku harus pergi?
Nana
masih belum membuka mata. Wajahnya pucat tetapi terlihat tenang seperti tak
peduli akan kebingunganku saat ini.
“Sepertinya,
kamu harus mempertimbangkan keputusanmu itu. Waktumu masih dua hari” kata Raka.
Raka
membujukku untuk menimbang lagi keputusan yang aku buat. Ia mengusap lembut
rambutku dan kemudian berjalan menuju sofa di pojok ruangan. Ia seolah
memberiku ruang untuk berpikir.
Aku
memandangi Nana dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dia tetap belum bergerak.
Jika aku mengambil kesempatan ini aku akan sendirian. Jika aku tak mengambil
kesempatan ini aku akan kehilangan impianku untuk sementara. Tetapi aku tak
akan sendiri. Ada Nana bersamaku. Sekarang aku yakin apa yang harus aku pilih.
“Ka,
kamu benar. Kesempatan tak mungkin datang dua kali. Tetapi hal itu masih bisa
dicari walaupun belum tentu kita mendapatkannya lagi dan ....” kata-kataku
terhenti.
“Lalu
keputusanmu?”
“Aku
tetap tak akan pergi. Sahabat seperti Nana lebih sulit didapatkan daripada
beasiswa itu. Bukan berarti aku sombong, tetapi aku yakin akan ada beasiswa
yang lain untuk kami berdua.” Kataku dengan penuh keyakinan.
Raka
kembali berdiri di sampingku. Ia tersenyum puas atas jawabanku. Aku menggenggam
tangan Nana dan aku tersentak ketika mendapati jemari Nana bergerak dalam genggamanku.
---

