Peppermint
Aku mulai terbiasa
dengan aroma ini. Aroma peppermint
menyegarkan keluar dari celah lengannya. Sepertinya ia menyemprotkan terlalu
banyak pewangi sebelum datang kemari. Setidaknya bau ini dapat menutupi bau
khas siang yang kering.
“Dani, kapan tugas ini
harus dikumpulkan?” tanyaku.
“Kamis besok.” jawabnya
tanpa memalingkan muka dari layar laptop.
Kamis? Itu berarti lima
hari lagi dan saat itu mungkin jadi akhir dari kebersamaan kami. Bersama dalam
satu kelompok tugas kampus.
Aku belum pernah bercakap
dengannya sampai dosen kami menyatukan kami dalam satu kelompok. Hanya dua
orang, aku dan Dani. Pada awalnya memang canggung, tetapi dia bisa membuatku
merasa nyaman. Pintar, celotehnya berisi, dan pandai menyegarkan suasana. Tak
heran dia menjadi ‘Putra Kampus’ tahun ini.
Aku membolak balik
halaman buku-buku yang ada dihadapanku. Tetapi tak berhasil menemukan hal aku
cari. Aku menghembuskan nafas panjang dan melirik Dani. Dia masih sibuk
memainkan jemarinya di atas keyboard.
“Ra, jangan melihatku
seperti itu atau nanti aku tak bisa tidur karena mengingat tatapanmu sekarang.”
kata Dani saat menyadari aku memandanginya.
Tawaku lepas saat dia
mengatakan kalimat tadi. Dia seperti Mentha
Piperita yang menyegarkan dan aku mulai menyukai mint yang satu ini.