Hembusan angin lembut mengelus wajahku. Sejuk terasa
menembus pori-pori kulit ini. Matahari memang belum pada puncak keangkuhannya,
tapi hangat sinarnya telah mengeringkan embun pagi. Aku terduduk di sudut taman
perumahan. Di atas sebuah bangku yang terbuat dari besi bercat coklat.
Kusandarkan tubuh ini.
Pandanganku tertuju pada sebuah gunung yang ada di
depan sana. Gunung yang terlihat begitu dekat. Terlihat sangat kuat. Berdiri
dengan kokoh. Tinggi, menjulang setinggi angkasa. Andai aku bisa sekuat gunung.
Aku tak tahu sudah berapa lama aku duduk di sini. Langit
telah nampak begitu biru. Sangat berbeda ketika aku baru duduk di bangku ini.
Saat itu langit masih kelam. Taman ini tampak tak ada kehidupan. Sunyi. Tapi kini,
semua berubah. Ketika mentari muncul, semua baru terlihat indah dan terang.
Hanya satu yang tak bisa dibuatnya terang, hatiku.
Pagi tadi, ketika matahari masih dalam peraduaanya,
aku sudah melarikan tubuh ini ke dalam dinginnya udara pagi. Tanpa tahu ke mana
arah tujuan aku berlari. Yang aku pikirkan, aku hanya ingin keluar dari rumah
itu. Aku sudah muak dengan semua keributan yang ada. Akhirnya, aku terhenti di
sini.
Kicau burung-burung memaksaku untuk mengalihkan
pandangan. Aku tengadahkan sedikit kepala ini. Kedua bola mataku mencari asal
suara itu. Dua ekor burung gereja yang asyik bermain di ranting pohon
tertangkap oleh penglihatanku. Sesaat kemudian mereka mengepakkan sayap. Terbang
tinggi ke angkasa.
Mataku mencoba menerawang jauh ke atas menerobos
awan-awan putih yang bergelayut dan menyusup dalam langit hingga keluar ke
angkasa. Angkasa ruang hampa udara yang gelap sama seperti diriku. Tempat yang
mungkin cocok untukku.
“Asa”. Suara lembut seorang laki-laki menerobos
masuk ke dalam telingaku. Suara itu terproses dengan baik oleh otakku membuatku
kembali. Aku menoleh ke arah suara itu. Suara yang dimiliki seorang laki-laki seusiaku.
Raka. Ia tersenyum ketika aku menoleh ke arahnya. Tetapi senyum itu mendadak
lenyap.
“Kamu kenapa? Ngapain kamu di sini?” tanya Raka
heran, lebih tepatnya cemas. Raka duduk di sampingku. Aku tak menjawab. “Ada
masalah lagi?” tanyanya kembali.
Mulutku masih terkunci. Butiran air mulai mengalir
turun perlahan dari mataku. Raka mengerutkan keningnya. Ia masih menatapku
cemas. Ia membelai rambut panjangku yang belum sempat aku sisir.
“Raka, apakah aku akan benar-benar gelap seperti
namaku?” tanyaku pada Raka. Raka terlihat bingung dengan pertanyaanku. Aku mencoba
menjelaskannya dengan mengangkat tangan kananku ke atas dan menunjuk jauh ke
atas sana. Raka mengikuti arah gerakan tanganku. “Langit? Kenapa?” tanyanya. “Bukan
langit, tapi yang ada di luarnya. Apa hidupku akan segelap itu. Segelap angkasa.
Seperti namaku, Angkasa?”
Raka kembali menatapku. Ia menggenggam tanganku. “Asa,
di luar sana memang gelap. Tetapi kegelapan itu menjadi indah dengan
warna-warni bintang. Aku tahu, saat ini kamu merasa seperti angkasa yang gelap,
tetapi suatu saat akan datang waktunya kamu menjadi indah dan terang” jawab
Raka menghiburku.
Raka menghapus air mataku dengan kedua tangannya
perlahan.
“Sekarang, kamu harus kuat. Tetap semangat. Semua masalah
pasti akan ada jalan keluarnya.” lanjutnya. “Ayo pulang.” ajak Raka.
Aku tersenyum. Raka, dia bisa membuatku kembali. Kau
benar, Raka. Angkasa memang gelap, tapi kegelapan itu menjadi indah dengan
adanya bintang-bintang.
---
http://pustakainspirasiku.blogspot.com/2012/05/lomba-ff-mingguan-pustaka-inspirasi-ku.html